Pengertian RIBA
Dalam kamus Lisaanul ‘Arab, kata
riba diambil dari kata رَبَا. Jika seseorang berkata رَبَا الشَّيْئُ يَرْبُوْ
رَبْوًا وَرَبًا artinya sesuatu itu bertambah dan tumbuh. Jika orang menyatakan
أَرْبَيـْتُهُ artinya aku telah menambahnya dan menumbuhkannya.
Dalam al-Qur-an disebutkan:
وَيُرْبِي الصَّدَقَاتِ
“…Dan menyuburkan sedekah…”
[Al-Ba-qarah/2: 276]
Dari kata itu diambillah istilah
riba yang hukumnya haram, Allah Ta’ala berfirman:
وَمَا آتَيْتُمْ مِنْ رِبًا
لِيَرْبُوَ فِي أَمْوَالِ النَّاسِ فَلَا يَرْبُو عِنْدَ اللَّهِ
“Dan sesuatu riba (tambahan) yang
kamu berikan agar dia menambah pada harta manusia, maka riba itu tidak menambah
pada sisi Allah…” [Ar-Ruum/30: 39]
Maka dikatakan, رَبَا الْمَالُ
(Harta itu telah bertambah).
Adapun definisi riba menurut istilah
fuqaha’ (ahli fiqih) ialah memberi tambahan pada hal-hal yang khusus.
Dalam kitab Mughnil Muhtaaj
disebutkan bahwa riba adalah akad pertukaran barang tertentu dengan tidak
diketahui (bahwa kedua barang yang ditukar) itu sama dalam pandangan syari’at,
baik dilakukan saat akad ataupun dengan menangguhkan (mengakhirkan) dua barang
yang ditukarkan atau salah satunya.
Riba hukumnya haram baik dalam
al-Qur-an, as-Sunnah maupun ijma’.
Allah Ta’ala berfirman,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا
اتَّقُوا اللَّهَ وَذَرُوا مَا بَقِيَ مِنَ الرِّبَا إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِينَ
“Hai orang-orang yang beriman,
bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut) jika
kamu orang-orang yang beriman.” [Al-Baqarah/2: 278]
Allah Ta’ala juga berfirman:
وَأَحَلَّ اللَّهُ الْبَيْعَ
وَحَرَّمَ الرِّبَا
“…Padahal Allah telah menghalalkan
jual beli dan mengharamkan riba…” [Al-Baqarah/2: 275]
Dalam ayat lain Allah Ta’ala
berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا
تَأْكُلُوا الرِّبَا
“Hai orang-orang yang beriman,
janganlah kamu memakan riba…” [Ali ‘Imran/3: 130]
Dalam as-Sunnah banyak sekali
didapatkan hadits-hadits yang mengharamkan riba. Imam Muslim rahimahullah
meriwayatkan dari Jabir Radhiyallahu anhu, ia berkata:
لَعَنَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ آكِلَ الرِّبَا وَمُوْكِلَهُ وَكَاتِبَهُ وَشَاهِدَيْهِ.
وَقَالَ: هُمْ سَوَاءٌ.
“Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam telah melaknat pemakan riba, yang memberi riba, penulisnya dan dua
saksinya,” dan beliau bersabda, “mereka semua sama.”
Dalam hadits yang sudah disepakati
keshahihannya dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, ia berkata bahwa Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إِجْتَنِبُوا السَّبْعَ
الْمُوْبِقَاتِ! وَذَكَرَ مِنْهُنَّ: آكِلَ الرِّبَا.
“Jauhilah tujuh perkara yang membawa
kehancuran,” dan beliau menyebutkan di antaranya, “Memakan riba.”
Dan telah datang ijma’ atas haramnya
riba.
Imam ‘Ali bin Husain bin Muhammad
atau yang lebih dikenal dengan sebutan as-Saghadi, menyebutkan dalam kitab
an-Nutf bahwa riba menjadi tiga bentuk yaitu:
1. Riba dalam hal peminjaman.
2. Riba dalam hal hutang.
3. Riba dalam hal gadaian.
2. Riba dalam hal hutang.
3. Riba dalam hal gadaian.
![]() |
Jenis-Jenis Riba
Mayoritas ulama menyatakan bahwa riba bisa
terjadi dalam dua hal, yaitu dalam utang (dain) dan dalam
transaksi jual-beli (bai’). Keduanya
biasa disebut dengan istilah riba utang (riba duyun)dan riba
jual-beli (riba buyu’). Mari kita
tinjau satu persatu:
Riba Dalam Utang
Dikenal dengan istilah riba duyun, yaitu manfaat tambahan terhadap utang.Riba ini terjadi dalam transaksi utang-piutang (qardh) atau pun dalam transaksi tak tunai selain qardh, semisal transaksi jual-beli kredit (bai’ muajjal).Perbedaan antara
utang yang muncul karena qardh dengan
utang karena jual-beli adalah asal akadnya. Utang qardh muncul karena semata-mata akad utang-piutang,
yaitu meminjam harta orang lain untuk dihabiskan lalu diganti pada waktu lain. Sedangkan utang dalam jual-beli muncul karena
harga yang belum diserahkan pada saat transaksi, baik sebagian atau keseluruhan.
Contoh riba dalam utang-piutang (riba qardh), misalnya, jika si A mengajukan utang
sebesar Rp. 20 juta kepada si B dengan tempo satu tahun.
Sejak awal keduanya telah menyepakati bahwa si A wajib mengembalikan utang
ditambah bunga 15%, maka tambahan 15% tersebut merupakan riba yang diharamkan.
Termasuk riba duyun adalah,
jika kedua belah pihak menyepakati ketentuan apabila pihak yang berutang
mengembalikan utangnya tepat waktu maka dia tidak dikenai tambahan, namun jika
dia tidak mampu mengembalikan utangnya tepat waktu maka temponya diperpanjang
dan dikenakan tambahan atau denda atas utangnya tersebut. Contoh yang kedua inilah yang secara khusus
disebutriba jahiliyah karena banyak dipraktekkan pada
zaman pra-Islam, meski asalnya merupakan transaksi qardh (utang-piutan).
Sementara riba utang yang muncul dalam selain qardh (pinjam) contohnya adalah apabila si X
membeli motor kepada Y secara tidak tunai dengan ketentuan harus lunas dalam
tiga tahun. Jika dalam tiga tahun tidak berhasil dilunasi
maka tempo akan diperpanjang dan si X dikenai denda berupa tambahan sebesar 5%,
misalnya.
Perlu diketahui bahwa dalam konteks utang,
riba atau tambahan diharamkan secara mutlak tanpa melihat jenis barang yang
diutang. Maka, riba jenis ini bisa terjadi pada segala
macam barang. Jika si A berutang dua liter bensin kepada si B,
kemudian disyaratkan adanya penambahan satu liter dalam pengembaliannya, maka
tambahan tersebut adalah riba yang diharamkan.Demikian pula jika
si A berutang 10 kg buah apel kepada si B, jika disyaratkan adanya tambahan
pengembalian sebesar 1kg, maka tambahan tersebut merupakan riba yang diharamkan.
Imam al-Qurthubi dalam tafsirnya menyatakan,
“kaum muslimin telah bersepakat berdasarkan riwayat yang mereka nukil dari Nabi
mereka (saw) bahwa disyaratkannya tambahan dalam utang-piutang adalah riba,
meski hanya berupa segenggam makanan ternak”.
Bahkan, mayoritas ulama menyatakan jika ada
syarat bahwa orang yang berutang harus memberi hadiah atau jasa tertentu kepada
si pemberi utang, maka hadiah dan jasa tersebut tergolong riba, sesuai kaidah,
“setiap qardh yang menarik manfaat maka ia adalah riba”. Sebagai contoh, apabila si B bersedia memberi
pinjaman uang kepada si A dengan syarat si A harus meminjamkan kendaraannya
kepada si B selama satu bulan, maka manfaat yang dinikmati si B itu merupakan
riba.
Riba Dalam Jual-beli
Dalam jual-beli, terdapat dua jenis riba,
yakni riba fadhl dan riba nasi’ah.Keduanya akan kita kenal lewat contoh-contoh yang
nanti akan kita tampilkan.
Berbeda dengan riba dalam utang (dain) yang bisa terjadi dalam segala macam
barang, riba dalam jual-beli tidak terjadi kecuali dalam transaksi enam barang
tertentu yang disebutkan oleh Rasulullah saw. Rasulullah
saw bersabda:
“Jika emas ditukar dengan emas, perak ditukar
dengan perak, bur (gandum) ditukar dengan bur, sya’ir (jewawut, salah satu
jenis gandum) ditukar dengan sya’ir, kurma dutukar dengan kurma, dan garam
ditukar dengan garam, maka jumlah (takaran atau timbangan) harus sama dan
dibayar kontan (tunai). Barangsiapa menambah atau meminta tambahan,
maka ia telah berbuat riba. Orang yang mengambil tambahan
tersebut dan orang yang memberinya sama-sama berada dalam dosa.”(HR. Muslim no.
1584)
Dalam riwayat lain dikatakan:
“Emas ditukar dengan emas, perak
dengan perak, gandum dengan gandum, jewawut dengan jewawut, kurma dengan kurma,
garam dengan garam, harus semisal dengan semisal, sama dengan sama (sama
beratnya/takarannya), dan dari tangan ke tangan (kontan). Maka jika berbeda jenis-jenisnya, juallah sesuka kamu asalkan dari
tangan ke tangan (kontan).” (HR Muslim no 1210; At-Tirmidzi
III/532; Abu Dawud III/248).
Ada beberapa poin yang bisa kita ambil dari
hadits di atas:
Pertama, Rasulullah saw dalam
kedua hadits di atas secara khusus hanya menyebutkan enam komoditi saja, yaitu:
emas, perak, gandum, jewawut, kurma dan garam. Maka
ketentuan/larangan dalam hadits tersebut hanya berlaku pada keenam komoditi ini
saja tanpa bisa diqiyaskan/dianalogkan kepada komoditi yang lain. Selanjutnya, keenam komoditi ini kita sebut
sebagai barang-barang ribawi.
Kedua, Setiap pertukaran
sejenis dari keenam barang ribawi, seperti emas ditukar dengan emas atau garam
ditukar dengan garam, maka terdapat dua ketentuan yang harus dipenuhi, yaitu: pertama takaran atau timbangan keduanya harus
sama; dan kedua keduanya harus
diserahkan saat transaksi secara tunai/kontan.
Berdasarkan ketentuan di atas, kita tidak
boleh menukar kalung emas seberat 10 gram dengan gelang emas seberat 5 gram,
meski nilai seni dari gelang tersebut dua kali lipat lebih tinggi dari nilai
kalungnya. Kita juga tidak boleh menukar 10 kg kurma
kualitas jelek dengan 5 kg kurma kualitas bagus, karena pertukaran kurma dengan
kurma harus setakar atau setimbang. Jika tidak
setimbang atau setakaran, maka terjadi riba, yang disebut riba fadhl.
Disamping harus sama, pertukaran sejenis dari
barang-barang ribawi harus dilaksanakan dengan tunai/kontan. Jika salah satu pihak tidak menyerahkan barang
secara tunai, meskipun timbangan dan takarannya sama, maka hukumnya haram, dan
praktek ini tergolong riba nasi’ah atau
ada sebagian ulama yang secara khusus menamai penundaan penyerahan barang
ribawi ini dengan sebutan riba yad.
Ketiga, Pertukaran tak sejenis
di antara keenam barang ribawi tersebut hukumnya boleh dilakukan dengan berat
atau ukuran yang berbeda, asalkan tunai. Artinya, kita
boleh menukar 5 gram emas dengan 20 gram perak atau dengan 30 gram perak sesuai
kerelaan keduabelah pihak. Kita juga
boleh menukar 10 kg kurma dengan 20 kg gandum atau dengan 25 kg gandum, sesuai
kerelaan masing-masing. Itu semua boleh asalkan
tunai alias kedua belah pihak menyerahkan barang pada saat transaksi. Jika salah satu pihak menunda penyerahan
barangnya, maka transaksi itu tidak boleh dilakukan. Para ulama
menggolongkan praktek penundaan penyerahan barang ribawi ini kedalam jenisriba nasi’ah tapi ada pula ulama yang
memasukkannya dalam kategori sendiri dengan nama riba yad.
Keempat, Jika barang ribawi
ditukar dengan selain barang ribawi, seperti perak ditukar dengan ke kayu,
maka dalam hal ini tidak disyaratkan harus setimbang dan tidak
disyaratkan pula harus kontan karena kayu bukan termasuk barang ribawi.
Kelima, Selain keenam
barang-barang ribawi di atas, maka kita boleh menukarkannya satu sama lain
meski dengan ukuran/kuantitas yang tidak sama, dan kita juga boleh
menukar-nukarkannya secara tidak tunai. Sebagai
contoh, kita boleh menukar 10 buah kelapa dengan 3 kg kedelai secara tidak
kontan karena kelapa dan kedelai bukan barang ribawi.
Memahami Riba Fadhl dan Riba Nasi’ah
Fadhl secara bahasa berarti tambahan atau kelebihan. Sedangkan nasii’ah secara
bahasa maknanya adalah penundaan atau penangguhan.
Nah, sekarang mari kita mencoba untuk memahami
apa yang dimaksudkan oleh para ulama dengan istilah riba fadhl dan riba nasi’ah, meskipun
sebenarnya, setelah kita memahami fakta tentang jenis-jenis riba, bukan suatu
hal yang wajib untuk mengenal nama-namanya. Hanya
saja, karena istilah riba fadhldan nasi’ah ini sangat sering kita baca atau kita
dengar, maka kita akan menemukan kesulitan untuk memahami tulisan atau
pembicaraan yang mengandung kedua istilah tersebut.
Silahkan cermati kembali poin dua dan poin
tiga pada penjelasan hadits yang baru saja kita lewati, setelah itu insyaallah kita bisa memahami apa yang disebut
dengan riba fadhl dan riba nasi’ah. Riba fadhl adalah
tambahan kuantitas yang terjadi pada pertukaran antar barang-barang ribawi yang
sejenis, seperti emas 5 gram ditukar dengan emas 5,5 gram. Sedangkan riba nasi’ah adalah
riba yang terjadi karena penundaan, sebab, nasi’ah sendiri maknanya adalah
penundaan atau penangguhan.
Semua riba utang (riba duyun) yang
telah kita bahas sebelumnya tergolong ribanasi’ah, karena
semuanya muncul akibat tempo. Dalam konteks
utang, ribanasi’ah berupa tambahan sebagai kompensasi atas tambahan
tempo yang diberikan. contohnya utang dengan tempo
satu tahun tidak berhasil dilunasi sehingga dikenakan tambahan utang sebesar
15%, misalnya. Maka, tambahan 15% ini merupakan riba nasi’ah. Juga dalam riba qardh dimana keberadaan tambahan telah disepakati
sejak awal, semisal ada ketentuan untuk mengembalikan utang sebesar 115%. Ini juga termasuk riba nasi’ah (meski sebagian ulama ada yang
memasukkannya dalam ketegori riba fadhl ditinjau
dari segi bahwa ia merupakan pertukaran barang sejenis dengan penambahan).
Sementara itu, dalam konteks jual-beli barang
ribawi, riba nasi’ah tidak berupa tambahan, melainkan
semata dalam bentuk penundaan penyerahan barang ribawi yang sebenarnya disyaratkan
harus tunai itu, baik keduanya sejenis maupun berbeda jenis. Contohnya seperti membeli emas menggunakan perak
secara tempo, atau membeli perak dengan perak secara tempo. Praktek tersebut tidak boleh dilakukan karena
emas dan perak merupakan barang ribawi yang jika ditukar dengan sesama barang
ribawi disyaratkan harus kontan. Itulah
mengapa, pertukaran barang ribawi secara tidak tunai digolongkan kedalam ribanasi’ah. Sebagian
ulama menyebut penyerahan tertunda dalam pertukaran sesama barang ribawi ini
dengan istilah khusus, yakni riba yad.
Kesimpulan
Riba bisa terdapat dalam utang dan transaksi
jual-beli.
Riba dalam utang adalah tambahan atas utang,
baik yang disepakati sejak awal ataupun yang ditambahkan sebagai denda atas
pelunasan yang tertunda. Riba utang ini bisa terjadi
dalam qardh (pinjam/utang-piutang) ataupun selain qardh,
seperti jual-beli kredit. Semua bentuk
riba dalam utang tergolong riba nasi’ah karena
muncul akibat tempo (penundaan).
Riba dalam jual beli terjadi karena pertukaran
tidak seimbang di antara barang ribawi yang sejenis (seperti emas 5 gram
ditukar dengan emas 5,5 gram). Jenis ini
yang disebut sebagai riba fadhl.
Riba dalam jual-beli juga terjadi karena
pertukaran antar barang ribawi yang tidak kontan, seperti emas ditukar dengan
perak secara kredit. Praktek ini digolongkan ke
dalam riba nasi’ah atau secara khusus disebut dengan
istilah riba yad.
Wallahu a’lam
Sumber : http://www.globalmuslim.web.id
![](https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiDZ6GAH_zHmiS4Ir0EcZAc9GQ62Mxh_NwrnKv_ZURAZecZIuxsWjATZIwGOWFORI-hc9PO92yxLppWCAJTBrsttZ0gJ9ezKG43qUZGwnuJEa90Ew0879TL11nF2vX0n1scOYL6aUhVxQ/s320/Dosa-riba-menurut-alquran-dan-sunnah-riba-sengsara-dunia-dan-akhirat.jpg)